Indonesia memiliki 5 pulau yang terbesar yaitu pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Indonesia mempunyai keindahan dan kekayaan alam yang sangat banyak, indah dan mempesona dan Indonesia juga memiliki beraneka ragam kebudayaan.
Seperti contohnya kebudayaan Jawa Timur yang terletak di dalam pulau Jawa.
Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Ibukotanya adalah Surabaya. Luas wilayahnya 47.922 km², dan jumlah penduduknya 37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa, dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat.
Rumah Adat Jawa Timur (Joglo)
Rumah joglo yang merupakan salah satu rumah adat Jawa Timur. bentuk bangunan Jawa Timur seperti di Ngawi, Madiun, Magetan, dan Ponorogo umumnya mirip dengan bentuk bangunan Jawa Tengah Surakarta. Bangunan ini sudah ada sejak lama pada masa era kolonial seperti informasi yang tercatat saat pengambilan gambar (TMII).
Masing-masing rumah adat yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri tersendiri dimana rumah adat Jawa Timur memiliki ciri-ciri bangunan berbentuk persegi panjang. Rumah Joglo mempunyai 16 buah tiang atau kolom sebagai penopang konstruksi atap yang terdiri dari 4 buah “saka guru” dengan masing masing tiang berukuran (15cm x 15cm) dan 12 buah tiang emper masing-masing berukuran (11cm x 11cm), serta mempunyai 5 buah “Blandar Tumpang Sari” lengkap dengan “kendhit”atau “koloran” yang berfungsi sebagai balok penyiku konstruksi utama bangunan tersebut. Keseluruhan bangunan asli menggunakan material struktur kayu jati dan mempunyai ukuran 8,4 m x 7,6 m.
Adat istiadat Karapan Sapi
Karapan Sapi merupakan salah satu budaya khas di Jawa Timur yaitu karapan sapi dimana Karapan sapi merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang selalu dilakukan oleh masyarakat P. Madura, Jawa Timur karena di Jawa Timur masih terdapat tradisi perlombaan pacuan sapi jadi pada perlombaan ini akan memperlihatkan dimana beberapa ekor sapi nantinya akan berlomba adu cepat untuk memenangkan perlombaan dan ditambah juga dengan ritual arak-arakan yang sampai saat ini masih dipercaya oleh suku Jawa Timur.
Candi Panataran
Candi Penataran terdapat di Jawa Timur dimana Candi ini merupakan salah satu keindahan dan kebanggaan yang di punyai oleh masyarakat Jawa Timur.
Candi Panataran yang terletak di sebelah utara Blitar adalah satu-satunya komplek percandian yang terluas di kawasan Jawa Timur. Berdasarkan laporan Dinas Purbakala tahu 1914-1915 nomor 2045 dan catatan Verbeek nomor 563, merupakan bangunan kekunaan yang terdiri atas beberapa gugusan sehingga disebut Komplek Percandian. Lokasi bangunan candi ini terletak di lereng barat-daya Gunung Kelud pada ketinggian 450 meter dpl (di atas permukaan air laut), di desa yang juga bernama Panataran, Kecamatan Nglegok, Blitar. Hanya berjarak sekitar 12 kilometer dari Kota Blitar atau kurang lebih setengah jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Dengan jalan yang relatif mulus dan cukup lebar hingga di depan komplek candi.
Banyak orang yang belum mengetahui jelas mengenai candi ini karena begitu banyak candi yang lebih terkenal di daerah jawa seperti Candi prambanan&candi Borobudur.
Senjata Tradisional Jawa Timur
Keris yang merupakan senjata tradisional ala Jawa Timur. Keris di suku Jawa Timur di gunakan untuk mempertahankan diri dan sebagai alat kebesaran di lingkungan raja. Jadi Keris ini bukan saja kebanggaan dari masyarakat Jawa Timur tapi Keris merupakan Senjata yang terkenal di negara Indonesia karena Keris ini sudah ada sejak lama dahulu kala. Selain Keris banyak juga terdapat senjata khas dari kebudayaan Jawa Timur seperti contonya Celurit yang berasal dari Madura Jawa Timur.
Suku bangsa
Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa dan begitu juga dengan Jawa Timur dimana suku Jawa Timur adalah mayoritas Suku Jawa, namun demikian, etnisitas di Jawa Timur lebih heterogen. Suku Jawa menyebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur daratan. Suku Madura mendiami di Pulau Madura dan daerah Tapal Kuda (Jawa Timur bagian timur), terutama di daerah pesisir utara dan selatan. Di sejumlah kawasan Tapal Kuda, Suku Madura bahkan merupakan mayoritas. Hampir di seluruh kota di Jawa Timur terdapat minoritas Suku Madura, umumnya mereka bekerja di sektor informal. Suku Tengger, konon adalah keturunan pelarian Kerajaan Majapahit, tersebar di Pegunungan Tengger dan sekitarnya. Suku Osing tinggal di sebagian wilayah Kabupaten Banyuwangi. Orang Samin tinggal di sebagian pedalaman Kabupaten Bojonegoro.
Selain penduduk asli, Jawa Timur juga merupakan tempat tinggal bagi para pendatang. Orang Tionghoa adalah minoritas yang cukup signifikan dan mayoritas di beberapa tempat, diikuti dengan Arab; mereka umumnya tinggal di daerah perkotaan. Suku Bali juga tinggal di sejumlah desa di Kabupaten Banyuwangi. Dewasa ini banyak ekspatriat tinggal di Jawa Timur, terutama di Surabaya dan sejumlah kawasan industri lainnya.
Pesan yang saya ingin sampainkan adalah . .
Orang bijak mengatakan,
“Sejarah adalah masa lalu, masa kini adalah waktu yang harus dijalani dan masa depan adalah misteri”.
Dan mari kita jaga dan terus Lestarikan Kebudayaan yang kita punya karena itu adalah kebanggan kita sendiri. Mulailah dari diri kita untuk mencintai dan melestarikan kekayaan alam yang kita punya.
Ayo kita lestarikan kebudayaan Indonesia….
Rabu, 09 Juni 2010
KEBUDAYAAN JAWA TENGAH (WAYANG KULIT)
Wayang kulit adalah sebagian dari produk seni tradisionil klasik, yang secara sadar dikembangkan secara konsepsionil. Konsep ini kemudian berakibat adanya perumusan seni yang kemudian dipertahankan kelestariannya oleh pencintanya. Konsep tersebut dibuat oleh orang yang biasa kita sebut dengan istilah “empu”. Empu-empu ini merupakan orang yang dekat dengan orang yang mempunyai kekuasaan, misalnya raja-raja. Selain itu empu juga seorang yang menurut istilah sekarang disebut “all round”. Mumpuni dalam hampir segala bidang, dia seorang sastrawan, ahli politik, ahli hukum, ahli siasat, ahli pandai besi. Contohnya Empu Gandring.
Apa sebab wayang kulit dapat bertahan sampai sekarang ? Ini adalah karena dibuat menurut konsep yang matang. Ada rencana dan ada pelaksanaan, serta sebelum itu sudah di”research” matang-matang oleh sang empu dan anak buahnya.
Hal itulah yang membedakannya dengan kesenian tradisionil non klasik dimana pendekatannya bukan dari segi konsep. Kesenian tradisionil non klasik ini contohnya yang paling jelas adalah seni anyam-menganyam, Dimana pola-pola anyaman tidak timbul karena direncanakan terlebih dahulu secara koonsepsionil, tetapi lebih banyak timbul karena segi teknis dan naluri manusia. Dengan kata lain, timbul karena kebutuhan dan kemudian ditambah dengan naluri. Sehingga terbentuk sesuatu yang bersifat estetis. Disini estetis timbul belakangan dan tidak secara konsepsionil direncanakan dulu. Seni semacam ini banyak timbul dikalangan rakyat jelata.
Pada seni tradisionil klasik, semuanya sudah dipikirkan matang-matang. Ada konsepsinya dan ada rumus-rumusnya. Berkembang dikalangan istana atau keraton, misalnya Solo, Yogyakarta, Cirebon.
Kembali kepada wayang tadi, wayang merupakan suatu seni yang juga termasuk katagori seni tradisionil klasik. Dibuat berdasar suatu konsep yang matang. Tetapi apa sebabnya sekarang begitu ditinggalkan orang ? Nah marilah kita lihat kaitannya dengan sejarah kita.
Perkembangan kesenian dipengaruhi oleh segi lingkungan yang berupa keadaan masyarakat, pendidikan, dan situasi budaya suatu kelompok masyarakat dimana seni tersebut berada. Baiklah kita tinjau satu persatu.
Keadaan masyarakat, sifat dari masyarakat yang sudah maju sudah kita ketahui, yaitu individuil. Sedangkan sifat masyarakat yang belum maju adalah tradisionil. Individuil adalah sikap hidup yang diketahui berasal dari barat. Sedang tradisionil ini merupakan sikap hidup masyarakat timur pada umumnya.
Faktor pendidikan, ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kesenian. Seperti kita ketahui, sistem pendidikan jaman kolonial belanda mengakibatkan kita tidak mengenal lagi kebudayaan tradisionil kita secara utuh. Ini baru dapat diakhiri setelah Indonesia merdeka. Tetapi kita sudah terlanjur tidak kenal lagi dengan kebudayaan kita sendiri. Yang kita kenal adalah semua seni berorientasi ke dunia barat.
Faktor situasi budaya, apabila suatu kesenian tradisionil masih kuat atau hidup, maka ini akan berpengaruh kepada seniman-seniman yang hidup disekitar tempat itu. Demikian pula andaikan kehidupan tidak memperlihatkan seni tradisionil, maka seniman-seniman itu akan mencari pegangan lain yang bukan tradisionil lagi.
Dari tiga hal diatas, jelaslah sudah apa-apa yang menjadikan wayang kita itu menjadi kabur. Yang jelas sekarang kita hidup pada jaman modern, maju. Dan kita tidak menginginkan seni tradisionil kita binasa. Harus ada pendekatan antara hidup modern dan tradisionil. Dan juga harus ada kesadaran bahwa hal itu memang perlu. Di Asia baru satu negara yang diketahui dapat membuat seimbang antara kehidupan modern dengan kehidupan tradisionil yaitu Jepang. Tetapi harus pula diketahui bahwa Jepang tidak mengalami dijajah. Tetapi yang jelas, kehidupan modern dan kehidupan tradisionil Jepang dapat berjalan sejajar, tanpa bentrok. Ini merupakan contoh yang baik bagi kita.
Wayang tadinya merupakan salah satu bentuk upacara tradisionil yang menjadi satu kesatuan dengan kehidupan orang. Tetapi karena faktor-faktor diatas tadi, menjadi satu bentuk seni yang terlepas dari kehidupan. Hanya menjadi tontonan, untuk kesenangan saja. Kalau kita menghidupkan wayang, hanyalah karena “supaya tidak punah”, merupakan kebudayaan lama, sisa-sisa leluhur kita. Tetapi bukan karena pribadi membutuhkan, secara utuh wayang, tidak menghayatinya untuk apa kita menghidupkannya, bukan dari segi estetisnya, bukan pula dari segi isinya. Padahal suatu seni hanya dapat hidup bila dibutuhkan. Orang mempunyai seni memainkan wayang, karena ia ingin dan butuh suatu media untuk melambangkan sesuatu yang diinginkan, melemparkan pesan kepada orang lain, memuaskan emosi, kesedihan, kegembiraan, perasaan-perasaan lain, yang menjadi uneg-uneg. Jadi bukan sekedar untuk disuguhkan kepada penonton.
Wayang ini harus menjadi kebutuhan pribadi seseorang dulu untuk dapat kembali seperti jaman lampaunya. Serta harus dicintai sepenuh hati.
Tendensi bahwa wayang ini akhirnya hanya menjadi bahan tontonan saja yang hanya dimainkan sekedar untuk menyenangkan hati, pesta-pesta, itulah yang akhir-akhir ini yang kita lihat. Kalau pada kebudayaan barat, dikenal adanya gerakan total theatre, yaitu gerakan untuk menyatukan antara pertunjukan dan penonton menjadi kesatuan; yang akhir-akhir ini meluas. Dan kita ikut-ikutan mencontohnya, Begitu ? Padahal yang pada jaman sekarang disebut dengan total theatre, pada wayang kulit sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Wayang kulit menjadi kesatuan dengan hidup, kebutuhan kita sehari-hari. Malahan sekarang kita berusaha membuat jarak antara pertunjukan dengan penontonnya. Ini dapat kita lihat dalam pertunjukkan wayang, dibuat panggung khusus untuk pemain, dan ada jarak; kemudian baru penonton, jauh dari panggung.
Seni-seni kita pada mulanya, selalu merupakan total theatre, akrab dengan penonton. Tetapi oleh ulah kita sendiri menjadi sesuatu yang berpisah dari kita. Seni bukan lagi menjadi kebutuhan kita, hanya sekedar menghibur. Hanya sampai disitu saja.
Padahal pada wayang kulit, yang disebut kesatuan antara pemain dan penonton sudah dicapai. Bukan dengan dimainkan di panggung, tetapi dengan dimainkan di dalam rumah, di pendopo, penonton berbaur dengan pemain. Sisa-sisa dari ini masih dapat kita lihat pada pertunjukkan yang diadakan di desa-desa.
Pemain dan penonton dalam wayang ini seharusnya sama tinggi kedudukannya, baik itu secara moril maupun secara fisik. Semua menjadi satu kesatuan, bagaimanapun kecilnya peran seorang penabuh, tetapi menentukan keseluruhannya, penontonpun ikut merasakannya andaikata salah seorang penabuh membuat kesalahan. Ini yang disebut dengan kesatuan, total. Semua yang hadir merasa ikut sayang, ikut sedih, ikut marah. Kita dapat melihatnya teriakan-teriakan dari penonton, dan dapat merasakannya dari tabuhan yang keras pada adegan peperangan. Semua yang hadir dalam satu kesatuan.
Kalau kita ingin mengembalikan kesenian semacam wayang ini hidup seperti dulu, terlebih dahulu harus kita cintai dan menjadi kebutuhan kita. Juga pembinaannya, mempelajari kembali makna dan pesan yang ada didalamnya. Jangan membuat garis pemisah antara penonton dengan pemain, yang akan menimbulkan ketegangan, gap dan perasaan tidak enak. Penonton dan pemain haruslah lebur menjadi satu. Sehingga perasaan pemain dan penonton sama.
Pendidikan disini memegang peranan penting, seperti juga pada masa lalu karena pendidikan yang menyebabkan kita mengenal lagi kebudayaan kita. Dengan pendidikan, kita tidak mengenal lagi kebudayaan atau kesenian kita punah atau yang “hampir” punah ini kepada generasi yang akan datang. Apresiasi sebagai jalan mempercepat proses kenalnya. Disini pentingnya pentas-pentas. Semakin banyak pentas, semakin banyak “perkenalan” dengan seni tradisionil.
Apa sebab wayang kulit dapat bertahan sampai sekarang ? Ini adalah karena dibuat menurut konsep yang matang. Ada rencana dan ada pelaksanaan, serta sebelum itu sudah di”research” matang-matang oleh sang empu dan anak buahnya.
Hal itulah yang membedakannya dengan kesenian tradisionil non klasik dimana pendekatannya bukan dari segi konsep. Kesenian tradisionil non klasik ini contohnya yang paling jelas adalah seni anyam-menganyam, Dimana pola-pola anyaman tidak timbul karena direncanakan terlebih dahulu secara koonsepsionil, tetapi lebih banyak timbul karena segi teknis dan naluri manusia. Dengan kata lain, timbul karena kebutuhan dan kemudian ditambah dengan naluri. Sehingga terbentuk sesuatu yang bersifat estetis. Disini estetis timbul belakangan dan tidak secara konsepsionil direncanakan dulu. Seni semacam ini banyak timbul dikalangan rakyat jelata.
Pada seni tradisionil klasik, semuanya sudah dipikirkan matang-matang. Ada konsepsinya dan ada rumus-rumusnya. Berkembang dikalangan istana atau keraton, misalnya Solo, Yogyakarta, Cirebon.
Kembali kepada wayang tadi, wayang merupakan suatu seni yang juga termasuk katagori seni tradisionil klasik. Dibuat berdasar suatu konsep yang matang. Tetapi apa sebabnya sekarang begitu ditinggalkan orang ? Nah marilah kita lihat kaitannya dengan sejarah kita.
Perkembangan kesenian dipengaruhi oleh segi lingkungan yang berupa keadaan masyarakat, pendidikan, dan situasi budaya suatu kelompok masyarakat dimana seni tersebut berada. Baiklah kita tinjau satu persatu.
Keadaan masyarakat, sifat dari masyarakat yang sudah maju sudah kita ketahui, yaitu individuil. Sedangkan sifat masyarakat yang belum maju adalah tradisionil. Individuil adalah sikap hidup yang diketahui berasal dari barat. Sedang tradisionil ini merupakan sikap hidup masyarakat timur pada umumnya.
Faktor pendidikan, ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kesenian. Seperti kita ketahui, sistem pendidikan jaman kolonial belanda mengakibatkan kita tidak mengenal lagi kebudayaan tradisionil kita secara utuh. Ini baru dapat diakhiri setelah Indonesia merdeka. Tetapi kita sudah terlanjur tidak kenal lagi dengan kebudayaan kita sendiri. Yang kita kenal adalah semua seni berorientasi ke dunia barat.
Faktor situasi budaya, apabila suatu kesenian tradisionil masih kuat atau hidup, maka ini akan berpengaruh kepada seniman-seniman yang hidup disekitar tempat itu. Demikian pula andaikan kehidupan tidak memperlihatkan seni tradisionil, maka seniman-seniman itu akan mencari pegangan lain yang bukan tradisionil lagi.
Dari tiga hal diatas, jelaslah sudah apa-apa yang menjadikan wayang kita itu menjadi kabur. Yang jelas sekarang kita hidup pada jaman modern, maju. Dan kita tidak menginginkan seni tradisionil kita binasa. Harus ada pendekatan antara hidup modern dan tradisionil. Dan juga harus ada kesadaran bahwa hal itu memang perlu. Di Asia baru satu negara yang diketahui dapat membuat seimbang antara kehidupan modern dengan kehidupan tradisionil yaitu Jepang. Tetapi harus pula diketahui bahwa Jepang tidak mengalami dijajah. Tetapi yang jelas, kehidupan modern dan kehidupan tradisionil Jepang dapat berjalan sejajar, tanpa bentrok. Ini merupakan contoh yang baik bagi kita.
Wayang tadinya merupakan salah satu bentuk upacara tradisionil yang menjadi satu kesatuan dengan kehidupan orang. Tetapi karena faktor-faktor diatas tadi, menjadi satu bentuk seni yang terlepas dari kehidupan. Hanya menjadi tontonan, untuk kesenangan saja. Kalau kita menghidupkan wayang, hanyalah karena “supaya tidak punah”, merupakan kebudayaan lama, sisa-sisa leluhur kita. Tetapi bukan karena pribadi membutuhkan, secara utuh wayang, tidak menghayatinya untuk apa kita menghidupkannya, bukan dari segi estetisnya, bukan pula dari segi isinya. Padahal suatu seni hanya dapat hidup bila dibutuhkan. Orang mempunyai seni memainkan wayang, karena ia ingin dan butuh suatu media untuk melambangkan sesuatu yang diinginkan, melemparkan pesan kepada orang lain, memuaskan emosi, kesedihan, kegembiraan, perasaan-perasaan lain, yang menjadi uneg-uneg. Jadi bukan sekedar untuk disuguhkan kepada penonton.
Wayang ini harus menjadi kebutuhan pribadi seseorang dulu untuk dapat kembali seperti jaman lampaunya. Serta harus dicintai sepenuh hati.
Tendensi bahwa wayang ini akhirnya hanya menjadi bahan tontonan saja yang hanya dimainkan sekedar untuk menyenangkan hati, pesta-pesta, itulah yang akhir-akhir ini yang kita lihat. Kalau pada kebudayaan barat, dikenal adanya gerakan total theatre, yaitu gerakan untuk menyatukan antara pertunjukan dan penonton menjadi kesatuan; yang akhir-akhir ini meluas. Dan kita ikut-ikutan mencontohnya, Begitu ? Padahal yang pada jaman sekarang disebut dengan total theatre, pada wayang kulit sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Wayang kulit menjadi kesatuan dengan hidup, kebutuhan kita sehari-hari. Malahan sekarang kita berusaha membuat jarak antara pertunjukan dengan penontonnya. Ini dapat kita lihat dalam pertunjukkan wayang, dibuat panggung khusus untuk pemain, dan ada jarak; kemudian baru penonton, jauh dari panggung.
Seni-seni kita pada mulanya, selalu merupakan total theatre, akrab dengan penonton. Tetapi oleh ulah kita sendiri menjadi sesuatu yang berpisah dari kita. Seni bukan lagi menjadi kebutuhan kita, hanya sekedar menghibur. Hanya sampai disitu saja.
Padahal pada wayang kulit, yang disebut kesatuan antara pemain dan penonton sudah dicapai. Bukan dengan dimainkan di panggung, tetapi dengan dimainkan di dalam rumah, di pendopo, penonton berbaur dengan pemain. Sisa-sisa dari ini masih dapat kita lihat pada pertunjukkan yang diadakan di desa-desa.
Pemain dan penonton dalam wayang ini seharusnya sama tinggi kedudukannya, baik itu secara moril maupun secara fisik. Semua menjadi satu kesatuan, bagaimanapun kecilnya peran seorang penabuh, tetapi menentukan keseluruhannya, penontonpun ikut merasakannya andaikata salah seorang penabuh membuat kesalahan. Ini yang disebut dengan kesatuan, total. Semua yang hadir merasa ikut sayang, ikut sedih, ikut marah. Kita dapat melihatnya teriakan-teriakan dari penonton, dan dapat merasakannya dari tabuhan yang keras pada adegan peperangan. Semua yang hadir dalam satu kesatuan.
Kalau kita ingin mengembalikan kesenian semacam wayang ini hidup seperti dulu, terlebih dahulu harus kita cintai dan menjadi kebutuhan kita. Juga pembinaannya, mempelajari kembali makna dan pesan yang ada didalamnya. Jangan membuat garis pemisah antara penonton dengan pemain, yang akan menimbulkan ketegangan, gap dan perasaan tidak enak. Penonton dan pemain haruslah lebur menjadi satu. Sehingga perasaan pemain dan penonton sama.
Pendidikan disini memegang peranan penting, seperti juga pada masa lalu karena pendidikan yang menyebabkan kita mengenal lagi kebudayaan kita. Dengan pendidikan, kita tidak mengenal lagi kebudayaan atau kesenian kita punah atau yang “hampir” punah ini kepada generasi yang akan datang. Apresiasi sebagai jalan mempercepat proses kenalnya. Disini pentingnya pentas-pentas. Semakin banyak pentas, semakin banyak “perkenalan” dengan seni tradisionil.
SEJARAH KEBUDAYAAN ACEH
SEJARAH KEBUDAYAAN ACEH
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
Dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka saya mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
A. LETAK
Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.
Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
3. Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat, yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa (Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
D. RELIGI
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
F. KESENIAN
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
G. PERALATAN
Persenjataan
Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
H. SEJARAH
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana. -
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan
Prev: A. ALAT PERNAPASAN MANUSIA
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
Dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka saya mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
A. LETAK
Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini pula yang mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.
Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
3. Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau Tengku.
Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat, yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa (Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat.
D. RELIGI
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
F. KESENIAN
Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
G. PERALATAN
Persenjataan
Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
H. SEJARAH
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana. -
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15, armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu. Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya "kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan dan
Prev: A. ALAT PERNAPASAN MANUSIA
Kebudayaan Bugis La Galigo
Kebudayaan merupakan unsur sejarah yang penting bagi sebuah bangsa. Bangsa yang besar menghargai sejarah kebudayaannya. Kebudayaan Indonesia sangat kaya dan beragam. Sejarah suatu kebudayaan bisa kita pelajari dari naskah yang diwariskan. Dengan perjalanan waktu dan jaman banyak peninggalan bersejarah yang hilang, rusak bahkan terlupakan. Bagaimana dengan situasi dan kondisi naskah atau manuskript kebudayaan begitu banyak suku bangsa Indonesia ? Benarkah lebih banyak naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di luar negeri ? Apakah naskah-naskah sejarah yang ada di Indonesia masih tersimpan dan terjaga dengan baik ? Bagaimana dengan naskah-naskah kebudayaan Indonesia yang tersimpan di Belanda ? Ikuti rangkuman Dialog Interaktif Radio Nederland dengan stasiun mitra Radio Bharata FM di Makassar bersama drs Sirtjo Koolhof, seorang pakar kebudayaan Bugis yang mengangkat epik La Galigo dalam skripsinya. Drs S. Koolhof kini bekerja sebagai pustakawan di KILTV (Lembaga Bahasa dan Budaya Asia Tenggara -Karibia) di Leiden. KITLV merupakan perpustakaan yang memiliki koleksi literatur Indonesia terbesar di luar negeri. Pemandu acara di stasiun mitra Radio Bharata FM adalah Erik Alamsyah dan didampingi oleh Bapak Karim Beso dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Makasar.
La Galigo
La Galigo adalah Epik tertulis yang terpanjang di dunia. Epik ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang berawal dengan seorang raja dunia atas atau raja langit yang bernama La Patiganna. Karya La Galigo ini merupakan suatu karya sastra yang sangat agung . Bila dibandingkan dengan budaya daerah-daerah lain di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa atau Bali, La Galigo memiliki keunikan tersendiri yakni dari gaya penyampaian, bahasa, dan formula yang digunakan merupakan campuran tradisi lisan dan tulisan.
Sebelumnya pada tahun 1983 telah ada desertasi yang dibuat oleh bapak profesor Fachruddin Ambuendre di Universitas Indonesia. Namun saat itu belum pernah ada yang diterbitkan dalam bentuk tulisan ilmiah dengan terjemahan bahasa Bugis.
Penelitian Sirtjo Koolhof
Dengan adanya keunikan khusus tersebut maka Sirtjo memilih topik La Galigo sebagai sumber inspirasi penulisan tugas akhirnya,
"Saat itu saya masih mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia di Unviersitas Leiden, saya sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Sulawesi terutama sastra Bugis .Dan dalam sastra Bugis ini , La Galigo yang paling yang dan karena pada waktu itu belum ada satu episode yang diterbitkan dan terjemahan dalam bahasa Bugis."
Penelitian skripsinya dilakukan di sebuah daerah di desa Sidrap-Amparita yang hanya berpenduduk 10.000 jiwa orang. Selama 3 bulan lamanya, Sirtjo Koolhof melakukan penelitian dengan menanyakan langsung kepada masyarakat setempat dan menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka seperti upacara kelahiran bayi, upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Dalam upacara-upacara tersebut terdapat unsur cerita La Galigo. Misalnya "Di daerah Sidrap masih ada masyarakat setempat yang masih memilki naskah La Galigo namun sudah tidak ada orang lagi yang bisa membacanya" tegas Sirtjo.
Dikarenakan situasi iklim di Indonesia yang lembab dan panas belum lagi ancaman rayap, maka sulit sekali menemukan sebuah naskah asli yang berumur lebih dari satu abad. Menurutnya kebanyakan naskah kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan naskah salinan. Sirtjo selalu membuat salinan dari setiap naskah yang ia dapatkan.
Dengan bantuan seorang pakar Bugis Bapak Muhammad Salim, Sirtjo Koolhof mendapatkan pementasan tradisi Makduta sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam penulisan skripsinya. Pentas Makduta ini menceritakan tentang Sawerigading yang melamar We Cudai. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwuk. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. Pementasan Makduta berlangsung kurang lebih 10 - 15 menit.
Selain penelitian lapangan, Sirtjo Koolhof juga banyak mendapatkan informasi dari salinan naskah-naskah La Galigo di perpustakaan Leiden, kota dengan Universitas paling tua di Belanda. Perpusatakaan ini bisa diakses oleh semua orang. Sehingga sangat mudah untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Naskah lain juga terdapat di Jakarta yakni di perpusatakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memilki 15 buah naskah Bugis.
Pementasan I La Galigo di Eropa
Tahun 2004 telah digelar I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda, Perancis dan Amerika. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang optimis. Pementasan I La Galigo dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari Amerika Serikat. Cerita pementasan I La Galigo ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makasar yang melahirkan budaya dunia secara menyeluruh. Yang menarik adalah bahwa pertunjukan ini ditujukan kepada seluruh golongan masyarakat dan tidak didasarkan pada satu budaya daerah tertentu saja.
links : www.kiltv.nl
La Galigo
La Galigo adalah Epik tertulis yang terpanjang di dunia. Epik ini menceritakan tentang penciptaan alam semesta yang berawal dengan seorang raja dunia atas atau raja langit yang bernama La Patiganna. Karya La Galigo ini merupakan suatu karya sastra yang sangat agung . Bila dibandingkan dengan budaya daerah-daerah lain di Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu di Jawa atau Bali, La Galigo memiliki keunikan tersendiri yakni dari gaya penyampaian, bahasa, dan formula yang digunakan merupakan campuran tradisi lisan dan tulisan.
Sebelumnya pada tahun 1983 telah ada desertasi yang dibuat oleh bapak profesor Fachruddin Ambuendre di Universitas Indonesia. Namun saat itu belum pernah ada yang diterbitkan dalam bentuk tulisan ilmiah dengan terjemahan bahasa Bugis.
Penelitian Sirtjo Koolhof
Dengan adanya keunikan khusus tersebut maka Sirtjo memilih topik La Galigo sebagai sumber inspirasi penulisan tugas akhirnya,
"Saat itu saya masih mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia di Unviersitas Leiden, saya sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Sulawesi terutama sastra Bugis .Dan dalam sastra Bugis ini , La Galigo yang paling yang dan karena pada waktu itu belum ada satu episode yang diterbitkan dan terjemahan dalam bahasa Bugis."
Penelitian skripsinya dilakukan di sebuah daerah di desa Sidrap-Amparita yang hanya berpenduduk 10.000 jiwa orang. Selama 3 bulan lamanya, Sirtjo Koolhof melakukan penelitian dengan menanyakan langsung kepada masyarakat setempat dan menyaksikan kehidupan sehari-hari mereka seperti upacara kelahiran bayi, upacara pernikahan, dan lain sebagainya. Dalam upacara-upacara tersebut terdapat unsur cerita La Galigo. Misalnya "Di daerah Sidrap masih ada masyarakat setempat yang masih memilki naskah La Galigo namun sudah tidak ada orang lagi yang bisa membacanya" tegas Sirtjo.
Dikarenakan situasi iklim di Indonesia yang lembab dan panas belum lagi ancaman rayap, maka sulit sekali menemukan sebuah naskah asli yang berumur lebih dari satu abad. Menurutnya kebanyakan naskah kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan naskah salinan. Sirtjo selalu membuat salinan dari setiap naskah yang ia dapatkan.
Dengan bantuan seorang pakar Bugis Bapak Muhammad Salim, Sirtjo Koolhof mendapatkan pementasan tradisi Makduta sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam penulisan skripsinya. Pentas Makduta ini menceritakan tentang Sawerigading yang melamar We Cudai. Sawerigading merupakan simbol laki-laki Bugis yang cakap, baik dan patuh kepada keluarganya. Sawerigading semula jatuh cinta pada We Tenriyabeng yang sebenarnya adalah saudara kembarnya. Mereka tidak saling mengenal, karena mereka dipisahkan sejak dilahirkan. Namun setelah mengetahui bahwa We Tenriyabeng merupakan saudara kandungnya sendiri, mereka tidak bisa menikah. Akhirnya Sawerigading meninggalkan Luwuk. Dalam perjalanan ke Cina, di Wajo ia bertemu We Cudai seorang wanita yang mirip sekali dengan We Tenriyabeng. Mereka menikah dan lahirlah La Galigo. Pementasan Makduta berlangsung kurang lebih 10 - 15 menit.
Selain penelitian lapangan, Sirtjo Koolhof juga banyak mendapatkan informasi dari salinan naskah-naskah La Galigo di perpustakaan Leiden, kota dengan Universitas paling tua di Belanda. Perpusatakaan ini bisa diakses oleh semua orang. Sehingga sangat mudah untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan. Naskah lain juga terdapat di Jakarta yakni di perpusatakaan Nasional dan juga di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan di Gedung Mulo yang memilki 15 buah naskah Bugis.
Pementasan I La Galigo di Eropa
Tahun 2004 telah digelar I La Galigo di beberapa negara Eropa seperti di Belanda, Perancis dan Amerika. Pementasan tersebut diterima dan dihargai sangat positif oleh berbagai kalangan masyarakat. Koran The New York Times yang biasanya sangat kritis memberikan komentar yang optimis. Pementasan I La Galigo dibawah bimbingan Robert Wilson seorang seniman teater dari Amerika Serikat. Cerita pementasan I La Galigo ini merupakan percampuran dari berbagai kebudayaan dengan tetap menggunakan ciri kebudayaan Makasar yang melahirkan budaya dunia secara menyeluruh. Yang menarik adalah bahwa pertunjukan ini ditujukan kepada seluruh golongan masyarakat dan tidak didasarkan pada satu budaya daerah tertentu saja.
links : www.kiltv.nl
Penamaan Orang Bali
I Putu Mahardika
I Made Mahardata
Ni nyoman Rahma
I Ketut Dogler
pasti semua udah pada tahu bahwa ini nama orang bali. ya ga??
sebenarnya kenapa sih orang bali harus pake nama beginian, ada undang-undang ga sih?? aturannya apa sih??
ok, kita bahas nama-nama ini ya, budaya nama yang unik di bali.
kita mulai dari apa arti dari nama-nama ini. Sebenarnya, nama ini adalah menunjukkan orang itu anak keberapa. ini bukanlah menyangkut undang-undang. tapi untuk mempermudah mengetahui status orang itu saja. dan mengingatkan ke orang itu bahwa jangan lupa sama tanah kelahiran.
nama PUTU/Wayan adalah nama depan yang diberikan untuk anak pertama .
nama Made/Kadek adalah nama depan yang diberikan untuk anak ke-2.
nama Nyoman/Komang adalah nama depan yang diberikan untuk anak ke-3
nama Ketut adalah nama depan yang diberikan untuk anak ke-4
berarti orang bali hanya boleh punya anak 4 aja dong???gimana kalo ada anak ke-5, ke-6 dan ke berikutna??
Begini nama Putu, Wayan, Made, Kadek, Nyoman, Komang Ketut itu bisa berputar. maksudnya jika ada anak ke-5 , maka anak itu nama depannya bisa Putu/Wayan, trus anak ke-6 jadi Made/Kadek lagi, begitu seterusnya, seperti rooling lagi gitu. ga susah kan.
trus kata I dan Ni artinya apa ya??
kata depan I pada nama menandakan dia itu laki-laki, kata Ni menandakan dia perempuan. tapi kadang orang-orang ada yang tidak memakan kedua kata ini, bisa langsung putu, wayan atau apa gitu. tergantung dari keinginan si pemberi nama.
selain itu ada juga nama yang menandakan kasta DLL. nah untuk itu gw ga bahas disini ya. di topik lain.
ok ada sebuah tips buat gw, kalo lo ke bali dan ga tau nama orang disana. gampang aja. kalo ada anak kecil dan kita ga tau namanya. bisa kok kita panggil dia “gus” untuk laki-laki dan “gek” untuk perempuan. apa sih arti nama ini??
gus itu singkatan dari Bagus yang artinya ganteng
dan gek itu adalah singkatan dari Jegeg yang artinya cantik. jadi kalo mau manggil anak kecil, cukup panggil “gus sini” maka anak itu pasti datang ke sini.(hehehehe). tapi sapaan ini bukan cuma buat anak kecil loh. bisa juga untuk remaja. kadang sih ya, pemuda bali kalo mau ngerayu gadis Bali pakeknya gek loh. hehehe(gombal ya)
nama lain lagi adalah Gede dan Luh . kalo ini sih gw blum dapet pencerahan. tapi kata Gede ada 2 arti bisa sama artinya dengan Putu ato berupa kasta. kata luh bisa berupa pelengkap kata Ni. dimana luh atau iluh itu sebenarnya berarti perempuan.
penataan nama seperti ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama. ini adalah budaya dari orang yang lahir di bali. ini sebagai penunjuk bahwa dia ini lahir di bali atau orang bali. begitu….
sumber : http://wikansadewa.blogspot.com
I Made Mahardata
Ni nyoman Rahma
I Ketut Dogler
pasti semua udah pada tahu bahwa ini nama orang bali. ya ga??
sebenarnya kenapa sih orang bali harus pake nama beginian, ada undang-undang ga sih?? aturannya apa sih??
ok, kita bahas nama-nama ini ya, budaya nama yang unik di bali.
kita mulai dari apa arti dari nama-nama ini. Sebenarnya, nama ini adalah menunjukkan orang itu anak keberapa. ini bukanlah menyangkut undang-undang. tapi untuk mempermudah mengetahui status orang itu saja. dan mengingatkan ke orang itu bahwa jangan lupa sama tanah kelahiran.
nama PUTU/Wayan adalah nama depan yang diberikan untuk anak pertama .
nama Made/Kadek adalah nama depan yang diberikan untuk anak ke-2.
nama Nyoman/Komang adalah nama depan yang diberikan untuk anak ke-3
nama Ketut adalah nama depan yang diberikan untuk anak ke-4
berarti orang bali hanya boleh punya anak 4 aja dong???gimana kalo ada anak ke-5, ke-6 dan ke berikutna??
Begini nama Putu, Wayan, Made, Kadek, Nyoman, Komang Ketut itu bisa berputar. maksudnya jika ada anak ke-5 , maka anak itu nama depannya bisa Putu/Wayan, trus anak ke-6 jadi Made/Kadek lagi, begitu seterusnya, seperti rooling lagi gitu. ga susah kan.
trus kata I dan Ni artinya apa ya??
kata depan I pada nama menandakan dia itu laki-laki, kata Ni menandakan dia perempuan. tapi kadang orang-orang ada yang tidak memakan kedua kata ini, bisa langsung putu, wayan atau apa gitu. tergantung dari keinginan si pemberi nama.
selain itu ada juga nama yang menandakan kasta DLL. nah untuk itu gw ga bahas disini ya. di topik lain.
ok ada sebuah tips buat gw, kalo lo ke bali dan ga tau nama orang disana. gampang aja. kalo ada anak kecil dan kita ga tau namanya. bisa kok kita panggil dia “gus” untuk laki-laki dan “gek” untuk perempuan. apa sih arti nama ini??
gus itu singkatan dari Bagus yang artinya ganteng
dan gek itu adalah singkatan dari Jegeg yang artinya cantik. jadi kalo mau manggil anak kecil, cukup panggil “gus sini” maka anak itu pasti datang ke sini.(hehehehe). tapi sapaan ini bukan cuma buat anak kecil loh. bisa juga untuk remaja. kadang sih ya, pemuda bali kalo mau ngerayu gadis Bali pakeknya gek loh. hehehe(gombal ya)
nama lain lagi adalah Gede dan Luh . kalo ini sih gw blum dapet pencerahan. tapi kata Gede ada 2 arti bisa sama artinya dengan Putu ato berupa kasta. kata luh bisa berupa pelengkap kata Ni. dimana luh atau iluh itu sebenarnya berarti perempuan.
penataan nama seperti ini tidak ada sangkut pautnya dengan agama. ini adalah budaya dari orang yang lahir di bali. ini sebagai penunjuk bahwa dia ini lahir di bali atau orang bali. begitu….
sumber : http://wikansadewa.blogspot.com
Hari Besar Umat Hindu Bali
Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :
1. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
2. Nyepi
Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.
Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).
Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.
Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.
Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
3. Ngembak Geni (Ngembak Api)
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).
Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :
1. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).
Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya.
Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.
Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
2. Nyepi
Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.
Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).
Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.
Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.
Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
3. Ngembak Geni (Ngembak Api)
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain.
Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).
cagar budaya surabaya
Kota Surabaya yang dijuluki Kota Pahlawan, memiliki 169 bangunan cagar budaya yang memiliki sejarah tersendiri. Bagunan cagar budaya merupakan warisan yang harus dilindungi. Bangunan bersejarah di Surabaya juga merupakan bukti bahwa kota ini layak menyandang sebagai kota pahlawan.
Sebelumnya telah ada 167 bangunan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sebanyak 61 bangunan ditetapkan pada tahun 1996 dan 102 bangunan ditetapkan pada tahun 1998. Adapun empat lainnya, ditetapkan pada tahun 2009, yakni Lapangan Golf Ahmad Yani, Gedung Gelora Pantjasila, Kolam Renang Brantas, dan gedung Perkumpulan Olah Raga Embong Sawo.
Untuk melesarikan warisan budaya tersebut, dinas Pariwisata kota surabaya untuk kedepanya akan merintis kerjasama dengan pabrik cat melalui Ikatan Arsitek cabang surabaya. itu dilakukan untuk perawatan terhadap 169 bangunan cagar budaya tersebut. Saat ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya selalu melakukan pantauan terhadap banguna bersejarah di kota Surabaya. dinas pariwisata dibantu oleh Tim Cagar Budaya yang dbentuk oleh walikota. Tim tersebut memiliki tugas memberikan masukan atau sebagai tim ahli untuk menentukan kelayakan sebuah bangunan untuk dijadikan bangunan cagar budaya.
a. Monumen Tugu Pahlawan
Monumen yang merupakan simbol perjuangan Arek-Arek Suroboyo ini sengaja dibangun untuk mengenang semangat perjuangan Arek-Arek Suroboyo dalam mengusir penjajah. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Ir. Soekarno pada 10 November 1951, dan diresmikan pada 10 November 1952.
Dibangun dalam bentuk paku terbalik gedung yang terletak diantara JalanBubutan-Jalan Tembaan-Jalan Pahlawan-Jalan Kebon Rojo, dulunya lokasi ini merupakan bekas gedung Raad Van Justitie.
Memiliki ketinggian 40,45 meter , dengan diameter bawah 3,10 dan diameter atas 1,30 meter, bagian bawah monumen ini dihiasi ukiran bergambar trisula, cakra, stamba, dan padma sebagai simbol perjuangan.
b. Museum 10 November
Terdiri atas 2 lantai, di lantai 1 terdapat 10 gugus patung yang melambangkan semangat juang Arek-Arek Suroboyo. Selain itu, di lantai ini juga terdapat sosio drama pidato Bung Tomo serta ruang pemutaran film pertempuran 10 November 1945 (diorama elektronik) dan ruang auditorium.
Sementara, di lantai 2 digunakan sebagai ruang pamer senjata, reproduksi foto-foto dokumenter, dan koleksi peninggalan Bung Tomo. Terdapat pula ruang diorama statis yang menyajikan delapan peristiwa seputar pertempuran Sepuluh November 1945, lengkap dengan narasinya.
c. Monumen Jalesveva Jayamahe
Pendirian monumen ini digagas oleh Laksamana TNI Muhammad Arifin, seorang Kepala Staf TNI Angkatan Laut, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 5 Desember 1996, bertepatan dengan Hari Armada RI
Monumen yang menampilkan sosok perwira menengah TNI Angkatan Laut berpakain lengkap, membawa sebilah pedang, serta pandangan mengarah ke garis horisontal sambil berkacak pinggang ini memiliki ketinggian 31 meter di atas bangunan setinggi 29 meter.
Monumen yang didesain oleh pematung Nyoman Nuarta ini diharapkan dapat menambah semaraknya Ujung Surabaya. Karenanya, selain sebagai tetenger TNI AL, monumen yang bisa dilihat jelas dari Selat madura ini juga berfungsi sebagai mercusuar bagi kapal-kapal yang melintas di sekitarnya.
d. House of Sampoerna
Merupakan bangunan yang menjadi saksi pendirian sebuah pabrik rokok terbesar di Surabaya. Bangunan ini terletak di Surabaya sebelah utara dan memiliki arsitektur kuno. Sebenarnya bangunan yang megah ini dulunya adalah gedung pertunjukan, yang kemudian digunakan sebagai pabrik.
Di dalam bangunan yang kini telah diubah fungsi menjadi museum ini, kita bisa menyaksikan kisah dan kesusksesan Sampoerna. Di samping iru, kita juga bisa menyaksikan kota Surabaya tempo dulu melalui beberapa ilustrasi yang digunakan.
e. Balai Pemuda
Gedung lain yang hingga kini juga dilestarikan adalah kompleks Balai Pemuda Surabaya. Di sekitaran kompleks ini dulunya digunakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Belanda. Sejak dulu, di tempat ini tela diadakan berbagai macam pertunjukan dan hiburan untuk orang-orang Belanda. Kini, walau jaman telah erganti, Balai Pemuda tetap dilestarikan dan banyak dijadikan tempat warga kota yang ingin mempertunjukkan kebolehannya.
f. A.Yani Golf
Padang golf ini dulunya dimanfaatkan oleg orang-orang Belanda yang ingin melepas penat. Lapangan golf tertua di Surabaya ini terletak di jalan Gunung Sari dan dibangun dengan konsep bangunan Eropa kuno.
Sebelumnya telah ada 167 bangunan yang ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sebanyak 61 bangunan ditetapkan pada tahun 1996 dan 102 bangunan ditetapkan pada tahun 1998. Adapun empat lainnya, ditetapkan pada tahun 2009, yakni Lapangan Golf Ahmad Yani, Gedung Gelora Pantjasila, Kolam Renang Brantas, dan gedung Perkumpulan Olah Raga Embong Sawo.
Untuk melesarikan warisan budaya tersebut, dinas Pariwisata kota surabaya untuk kedepanya akan merintis kerjasama dengan pabrik cat melalui Ikatan Arsitek cabang surabaya. itu dilakukan untuk perawatan terhadap 169 bangunan cagar budaya tersebut. Saat ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya selalu melakukan pantauan terhadap banguna bersejarah di kota Surabaya. dinas pariwisata dibantu oleh Tim Cagar Budaya yang dbentuk oleh walikota. Tim tersebut memiliki tugas memberikan masukan atau sebagai tim ahli untuk menentukan kelayakan sebuah bangunan untuk dijadikan bangunan cagar budaya.
a. Monumen Tugu Pahlawan
Monumen yang merupakan simbol perjuangan Arek-Arek Suroboyo ini sengaja dibangun untuk mengenang semangat perjuangan Arek-Arek Suroboyo dalam mengusir penjajah. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Ir. Soekarno pada 10 November 1951, dan diresmikan pada 10 November 1952.
Dibangun dalam bentuk paku terbalik gedung yang terletak diantara JalanBubutan-Jalan Tembaan-Jalan Pahlawan-Jalan Kebon Rojo, dulunya lokasi ini merupakan bekas gedung Raad Van Justitie.
Memiliki ketinggian 40,45 meter , dengan diameter bawah 3,10 dan diameter atas 1,30 meter, bagian bawah monumen ini dihiasi ukiran bergambar trisula, cakra, stamba, dan padma sebagai simbol perjuangan.
b. Museum 10 November
Terdiri atas 2 lantai, di lantai 1 terdapat 10 gugus patung yang melambangkan semangat juang Arek-Arek Suroboyo. Selain itu, di lantai ini juga terdapat sosio drama pidato Bung Tomo serta ruang pemutaran film pertempuran 10 November 1945 (diorama elektronik) dan ruang auditorium.
Sementara, di lantai 2 digunakan sebagai ruang pamer senjata, reproduksi foto-foto dokumenter, dan koleksi peninggalan Bung Tomo. Terdapat pula ruang diorama statis yang menyajikan delapan peristiwa seputar pertempuran Sepuluh November 1945, lengkap dengan narasinya.
c. Monumen Jalesveva Jayamahe
Pendirian monumen ini digagas oleh Laksamana TNI Muhammad Arifin, seorang Kepala Staf TNI Angkatan Laut, dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 5 Desember 1996, bertepatan dengan Hari Armada RI
Monumen yang menampilkan sosok perwira menengah TNI Angkatan Laut berpakain lengkap, membawa sebilah pedang, serta pandangan mengarah ke garis horisontal sambil berkacak pinggang ini memiliki ketinggian 31 meter di atas bangunan setinggi 29 meter.
Monumen yang didesain oleh pematung Nyoman Nuarta ini diharapkan dapat menambah semaraknya Ujung Surabaya. Karenanya, selain sebagai tetenger TNI AL, monumen yang bisa dilihat jelas dari Selat madura ini juga berfungsi sebagai mercusuar bagi kapal-kapal yang melintas di sekitarnya.
d. House of Sampoerna
Merupakan bangunan yang menjadi saksi pendirian sebuah pabrik rokok terbesar di Surabaya. Bangunan ini terletak di Surabaya sebelah utara dan memiliki arsitektur kuno. Sebenarnya bangunan yang megah ini dulunya adalah gedung pertunjukan, yang kemudian digunakan sebagai pabrik.
Di dalam bangunan yang kini telah diubah fungsi menjadi museum ini, kita bisa menyaksikan kisah dan kesusksesan Sampoerna. Di samping iru, kita juga bisa menyaksikan kota Surabaya tempo dulu melalui beberapa ilustrasi yang digunakan.
e. Balai Pemuda
Gedung lain yang hingga kini juga dilestarikan adalah kompleks Balai Pemuda Surabaya. Di sekitaran kompleks ini dulunya digunakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Belanda. Sejak dulu, di tempat ini tela diadakan berbagai macam pertunjukan dan hiburan untuk orang-orang Belanda. Kini, walau jaman telah erganti, Balai Pemuda tetap dilestarikan dan banyak dijadikan tempat warga kota yang ingin mempertunjukkan kebolehannya.
f. A.Yani Golf
Padang golf ini dulunya dimanfaatkan oleg orang-orang Belanda yang ingin melepas penat. Lapangan golf tertua di Surabaya ini terletak di jalan Gunung Sari dan dibangun dengan konsep bangunan Eropa kuno.
Langganan:
Postingan (Atom)